— setelah gelisah tenggelam dalam gelembung linglung
Catatan lumayan
José Mário dos Santos Mourinho Félix (Jose Mourinho) ketika menggelinjang di
arena sepak bola tak seperti catatannya dalam berkeluarga dan berumah tangga.
Keberhasilannya melantan keharmonisan keluarga dan rumah tangga yang dibina
dengan Matilde Faria membikin kisahnya tak istimewa: tak ada perjuangan untuk bangkit
dari keterpurukan seperti ketika dirinya dipecat berpisah baik-baik
dengan Chelsea dan Real Madrid.
Puan dengan
kecantikan dan ukuran kesintalan badan lumayan menawan ini biasa disapa Tami.
Tami merupakan puan kelahiran Angola, yang menghabiskan masa persemaian
remajanya di Setúbal, Portugal, home town-nya
Mourinho. Di sana, keduanya memula perjalanan bersama tak berkesudahan yang tak
istimewa ini.
Rasa cinta yang
dimulai sejak keduanya masih remaja ditahbiskan dengan revolusi cinta pada 1989.
Revolusi cinta yang berbuah immortal love
bagi keduanya hingga kini. Bahkan ketika laki kelahiran 26 Januari 1963 ini digoda
oleh Elsa Sousa pada tahun 2007, tak merisak rasa cinta yang menggelora dalam
sukma terdalam.
Elsa,
penjaga toko dengan kesintalan badan yang menggoda naluri laki, sempat
menggilai Mourinho. Beruntung Tami segera peka ada berupaya mendekati sang
suami. Tanpa perlu ribut-ribut, Tami pasang badan untuk mempertahankan ikatan
cinta dengan Mourino. Elsa mulai tahu diri hingga memilih mundur teratur, mengakhiri
potensi catatan kelam Mourinho dalam keluarga dan rumah tangga dengan manis
tanpa pernah bertikai sadis.
Sebagai
seorang pasangan, Tami bukan semata berperan sebagai mitra selakangan. Tami
adalah sosok yang bisa menjaga kestabilan psikis Mourinho serta sanggup memberi
saran teknis terkait karirnya. Tami juga yang meyakinkan Mourinho untuk
menekuni dunia kepelatihan sepak bola, walau Tami mengerti kalau Mourinho tak
ada apa-apanya ketika menjadi pemain.
“My wife and my son and my daughter have the biggest
influence on me, that’s for sure. And why? Because they are the bosses and
control everything in the house! And in relation to my job they don’t try to
influence me but at the end of the day they have a big influence because when it
comes to make big decisions—where to go, where to work, when to change—on this
kind of thing they have a big influence on me.” ungkap Jose
Mourinho terkait pengaruh keluarga dalam perjalanannya.
Selepas
menjalani kegiatan perguruan tinggi, Tami segera menyarankan Mourinho untuk
yakin diri mendekati Robert
William Robson (Bobby Robson). Bobby
Robson saat itu baru saja mendarat di
negeri mereka, memulai perjalanan sebagai pelatih sepak bola di sana. Saran
Tami kemudian dilakukan sepenuh hati oleh Jose Mourinho hingga berbuah ikatan persahabatan
cinta yang tulus dan karier profesional sekaligus.
Persahabatan Cinta yang Tulus Robson
& Mourinho
Karier Bobby Robson sebagai manager
dimulai di Inggris, tanah airnya. Setelah sesaat menukangi klub yang lama dia
bela, Fulham, Robson kemudian melegenda sebagai manager Ipswich Town. 13 musim
dia terus bersama Ipswich sebelum akhirnya mendapat panggilan menangani tim
nasional Inggris.
Laki kelahiran 18 Februari 1933
tersebut menangani tim nasional selama satu windu sejak 1982 hingga akhir ajang
piala dunia 1990. Baru selepas 22 musim menjadi manager, Robson mendapat
kesempatan bertualang ke luar Britania.
Petualangan pertamanya dimulai di
Belanda selepas menerima tawaran untuk menangani PSV Eindhoven. Petualangan
pertamanya menyeberang ke Belanda disebut Robson dengan “a culture shock but felt...a sense of adventure.” Robson merasakan
perbedaan kentara antara suasana di Inggris dan Belanda.
Di Inggris, dia menyebut pemain akan
selalu menerima keputusan manager. Sedangkan di Belanda, dia kerap didatangi
pemain yang tak dimainkan dalam pertandingan. Robson juga dikejutkan dengan
perdebatan taktik bermain antara manager dan pemain.
Beragam tantangan tersebut membuat
Robson hanya sanggup memberikan dua gelar juara liga domestik pada PSV selama
dua musim ditanganinya. Sementara penampilan PSV di ajang kontinental, tak
sesuai harapan pengurus klub. Raihan ini membuatnya ‘dipersilakan meninggalkan
klub’ selepas akhir musim.
Setelah meninggalkan PSV, Robson
menerima tawaran menukangi Sporting Lisbon pada Juli 1992. Di sana dia meminta
Manuel José Tavares Fernandes (Manuel Fernandes) menjadi asistennya dan José
Mário dos Santos Mourinho Félix (Jose Mourinho) sebagai penerjemah. Walau
ditunjuk sebagai penerjemah, dalam praktiknya Robson kerap membahas taktik dan
program latihan bersama Jose Mourinho.
Selama di Sporting, posisi Robson tak
terlampau nyaman. Dia harus menghadapi presiden klub kala itu, José de Sousa
Cintra (Sousa Cintra), yang gemar mendatangi pemain tanpa sepengetahuan Robson.
Memang dia berhasil membawa klub menempati posisi ketiga di akhir kompetisi.
Namun dia juga mengakui bahwa klub tersebut sedang mengalami “...a terrible state” dan menyebut
presiden klub sebagai “loose cannon”.
Hubungan yang tak begitu nyaman
disertai dengan posisi tak aman. Robson pun terdepak dari klub pada 30 November
1993 dengan dalih tersingkir oleh FC Red Bull Salzburg di ajang UEFA Cup.
Padahal di kancah domestik, mereka sedang bertengger di posisi kedua klasemen
sementara. Selain mendepak Robson, Sporting juga turut mendepak Manuel
Fernandes dan Jose Mourinho.
Posisi Robson kemudian digantikan
oleh Carlos Manuel Brito Leal Queiroz (Carlos Queiroz). Queiroz ditunjuk
sebagai nahkod Sporting setelah nganggur pasca posisinya sebagai pelatih
tim nasional Portugal selesai pada 17 November 1993. Sementara itu, status nganggur
Robson dimanfaatkan oleh rivalnya, FC Porto.
Dengan sigap Porto memberikan tawaran
pada Robson untuk mengisi posisi pelatih kepala yang kosong sesudah mereka
mendepak Tomislav Ivić pada 30 Januari 1994. Robson segera mengajak Jose
Mourinho ikut serta di Porto yang kembali diminta untuk menjadi
‘penerjemah’-nya seperti sebelumnya.
Ketika di Porto, Robson tinggal satu
blok apartemen dengan Luís André de Pina Cabral e Villas-Boas (André
Villas-Boas) yang saat itu belum genap berusia 17 tahun. Villas-Boas
memanfaatkan kesempatan ini untuk ‘memperkenalkan diri’ pada Robson. Dari
‘perkenalan’ ini, Robson menunjuk Villas-Bos untuk ikut serta di Porto dalam observation department.
‘Perkenalan’ ini menjadi momentum
penting bagi Villas-Boas. Robson kemudian membantu Villas-Boas memperoleh
kualifikasi pelatih dari FA. Tak cukup di situ saja, Robson juga membantu
Villas-Boas memperoleh lisensi kepelatihan UEFA C di Skotlandia meski secara
administrasi belum memenuhi syarat lantaran masih berusia 17 tahun.
Untuk memberi kemantapan pada
Villas-Boas, Robson pun menyarankan Villas-Boas untuk belajar metode
kepelatihan di Ipswich Town. Setahun kemudian, pada usia 18 tahun, Villas-Boas
memperoleh lisensi kepelatihan UEFA B yang dilanjutkan lisensi UEFA setahun
berikutnya.
Lisensi UEFA Pro didapatkan
Villas-Boas dari National Sports Centre in Largs, Skotlandia, di bawah
bimbingan James Taylor Fleeting (Jim Fleeting). Di tempat dan dari sosok ini
pula Jose Mourinho memperoleh lisensi UEFA Pro.
Musim perdana Robson di Porto dengan
status carteker manager memang
tak berhasil merengkuh gelar juara liga domenstik. Namun setidaknya Robson
berhasil membalas dendamnya pada Sporting Lisbon dengan bertengger di posisi
kedua klasemen akhir, terpaut dua angka dari Benfica yang menjadi juara dan
satu angka dari Sproting yang menempati posisi ketiga.
Balas dendam Robson juga dilakukan di
ajang Taça de Portugal. Porto yang ditangani Robson, bersua dengan Sporting
yang ditangani Queiroz di pertandingan final. Pertandingan sengit berlangsung
antar keduanya pada laga yang dihelat di Estádio Nacional pada 05 Juni 1994.
Hasil imbang memaksa mereka memainkan laga replay yang digelar di venue
yang sama lima hari kemudian.
Dalam laga replay ini, Porto
berhasil memungkasi laga dengan kemenangan dramatis. Gol Rui Jorge de Sousa
Dias Macedo de Oliveira (Rui Jorge) pada menit 35 yang dibalas oleh Budimir
Vujačić pada menit 55, tampak membuat laga akan berlanjut ke babak tambahan.
Namun Aloísio Pires Alves mengubah suasana stadion setelah berhasil menjebol
gawang Sporting pada menit 91. Porto pun ditahbiskan sebagai juara.
Dua musim berikutnya, yang ditangani
Robson sejak awal musim, berhasil mengukuhkan Porto sebagai juara liga domestik
dua kali beruntun. Gelar Supertaça Cândido de Oliveira (Piala Super Portugal)
juga berhasil dia persembahkan tiga kali beruntun pada 1994, 1995, dan 1996.
Di ajang kontinental, Porto berhasil
dibawa Robson mencapai babak semi-final UEFA Champions League musim 1993/94.
Sayang langkah mereka dihentikan oleh Barcelona dengan skor 3-0. Di semi-final
lainnya, AC Milan melumat AS Monaco dengan skor yang sama.
AC Milan kemudian menjadi juara
sesudah menghempaskan perlawanan Barcelona dengan empat gol tak berbalas. Tepat
satu dekade kemudian, Porto dan Monaco lah yang bersua di pertandingan final.
Salah satu pertandingan final penting dalam sejarah sepak bola.
Posisi Porto di klasemen akhir musim
1993/1994 membuat mereka tak bisa tampil di UEFA Champions League musim
1994/1995. Sebagai runner-up liga, mereka hanya mendapat kesempatan
tampil di UEFA Cup Winners' Cup. Sayang sekali raihan manis mereka di liga
domestik tak diikuti di ajang kontinental kali ini. Mereka tersingkir di babak
8 besar setelah kalah adu penalti dari Sampdoria.
Di musim terakhir Robson, penampilan
Porto di ajang kontinental pun tak bagus. Mereka kalah bersaing dengan
Panathinaikos Athletic Club (Panathinaikos F.C.) dan Football Club de Nantes
(FC Nantes) dan menempati posisi ketiga klasemen grup A. Lumayan tak berada di
posisi juru kunci yang ditempati oleh Aalborg Boldspilklub (Aalborg BK).
Robson meninggalkan Porto dengan
kenangan manis. Tak hanya raihan tropi bergengsi, juga dengan kemenangan manis
yang dipersembahkan dalam laga terakhirnya menahkodai Porto. Menghadapi rival
abadi mereka, Benfica, Porto berhasil menghempaskan lawan dengan 5 gol tak
berbalas.
Kemenangan yang mengiringi perpisahan
ini membuat Robson mendapat julukan “Bobby
Five-O”. Pengaruh Robson tak sirna di Porto walau tak lagi bersama. Porto
terus mendominasi papan atas persepakbolaan Portugal selepas ditinggal Robson.
Satu legacy yang turut menyulitkan
pelatih Porto selanjutnya.
Merasakan Kehangatan Catalan
Joan Gaspart i Solves, yang saat itu
menjadi wakil presiden Barcelona, menghubungi Robson melalui telepon pada musim
panas 1996. Gaspart memberi tawaran pada Robson untuk menahkodai raksasa
Catalan tersebut. Selain pada musim panas, saat itu Barcelona sedang mengalami
masa-masa panas.
Silang pendapat antara José Luis
Núñez Clemente, presiden Barcelona saat itu, dengan pelatih kepala yang
dipegang oleh Hendrik Johannes Cruijff (Johan Cruyff), memaksa Núñez
‘menyingkirkan’ Cruyff, yang notabene pelatih yang dia ‘bajak’ dari Ajax
sewindu sebelumnya. Walau melegenda, dua musim terakhir Cruyff sebagai pelatih
kepala Barcelona kerap didera lara. Robson tanpa pikir panjang menerima tawaran
Gaspart.
Lagi dan lagi, Robson mengajak Jose
Mourinho ikut serta. Jose Mourinho kembali menerima ajakan Robson. Kali ini
Jose Mourinho turut memboyong keluarganya ke Catalan. Jose Mourinho berperan
sebagai penerjemah Robson di konferensi pers dan perencanaan sesi latihan serta
membantu pemain melalui saran taktik dan analisis tentang lawan.
Duet Robson dan Jose Mourinho saling
melengkapi. Robson sangat suka dengan gaya menyerang ketika bermain sehingga
dia lebih lihai dalam membangun sisi penyerangan tim. Sementara Jose Mourinho
sangat piawai membangun sisi pertahanan tim. Jose Mourinho juga orang yang bisa
menyusun perencanaan program latihan dengan rapi dan rinci yang bisa diterapkan
dengan apik oleh Robson.
Awal musim 1997/1998, Robson
dikabarkan berpindah peran menjadi General
Manager di Barcelona. Sementara peran pelatih kepala diisi oleh Aloysius
Paulus Maria van Gaal (Louis van Gaal). Namun kabar tersebut terbantahkan
lantaran Robson tetap menjadi pelatih kepala pada musim tersebut.
Kabar datangnya van Gaal untuk
menahkodai Barcelona terwujud semusim berikutnya, 1998/1999. Kepergian Robson
dari Barcelona kali ini tak diikuti oleh Jose Mourinho yang bertahan di
Barcelona. Sepertihalnya bertahan pada pekerjaan, persahabatan Robson dan Jose
Mourinho juga tetap bertahan.
“One
of the most important things I learnt from Bobby Robson is that when you win,
you shouldn't assume you are the team, and when you lose, you shouldn't think
you are rubbish.” tutur
Jose Mourinho tentang hubungannya dengan Robson.
Jose Mourinho yang tetap di Barcelona
melanjutkan pekerjaannya bersama van Gaal. Selama bersama van Gaal, Jose
Mourinho lebih banyak belajar tentang ketelitian laki asal Belanda ini. Van Gaal
sendiri melihat bakat Jose Mourinho lebih dari sekedar asisten yang terampil.
Tanpa ragu, van Gaal memberikan
kepercayaan pada Mario untuk menangani tim Barcelona B. Lebih dari itu, dalam
ajang tertentu seperti Catalonia Cup, van Gaal bahkan mempercayakan Jose
Mourinho bertindak sebagai ‘pelatih kepala’.
Kepercayaan van Gaal memberikan
pengalaman pada Jose Mourinho untuk mengembangkan gaya melatihnya sendiri.
Gelar Catalonia Cup pada tahun 2000 berhasil Jose Mourinho persembahkan pada
Barcelona ketika dia mengambil alih peran van Gaal.
Selama di Barcelona, van Gaal terus
kesulitan untuk menerapkan gagasannya ke dalam permainan Barcelona. Laki
kelahiran 08 Agustus 1951 ini juga kerap bentrok dengan media massa dan terus
menerima kritikan tajam maupun cacian dari para pendukung Barcelona. Selain itu
juga menghadapi beberapa pemain yang tak nyaman berhubungan dengannya.
Keadaan tersebut membuat van Gaal
memutuskan meninggalkan Barcelona pada 20 Mei 2000. Hanya beberapa hari setelah
Real Club Deportivo de La Coruña, S.A.D. (Deportivo de La Coruña) menahbiskan
diri menjadi juara liga. Ungkapan perpisahan van Gaal dan Barcelona belakangan
menjadi terkenal, “Amigos de la prensa.
Yo me voy. Felicidades.” (Friends of the press. I am leaving. Congratulations.)
Baik van Gaal maupun Jose Mourinho,
keduanya pergi dari Catalan untuk kembali ke tanah air mereka. Perpisahan
pembuka jalan perubahan yang sempat membikin Jose Mourinho gelisah. Setelah mempertimbangkan beragam
masukan dan keadaan, Jose Mourinho akhirnya memutuskan untuk mulai terbang
tinggi seperti Elang.