— pemula gelora kajian keilmuan
Gerhana
menjadi peristiwa penting dalam linimasa peradaban manusia di planet Bumi.
Semula, peristiwa tersebut ditaggapi dengan menggunakan ragam macam mitos. Saat
terjadi gerhana, orang-orang di Bumi bergegas menyelamatkan Surya (Matahari)
atau Bulan dengan bersama-sama membikin kebisingan. Melalui kebisingan ini
mereka berharap supaya gerhana segera sirna.
Mitos
seperti ini tak hanya terjadi di tanah Jawi
dengan cerita ‘Srengengene dipangan
Butho’ (Jawa: Suryanya dimakan Raksasa). Di belahan wilayah lain, mitos
seperti inipun ada. Entah bagaimana caranya, setiap generasi peradaban manusia
di planet Bumi, selalu saja ada titik temu jitu. Ada kecenderungan yang berlaku
pada setiap masa yang hingga kini tak pernah sirna juga.
Lamat-lamat
malar, manusia meninggalkan mitos tersebut sesudah melihat adanya pola
keteraturan dalam peristiwa gerhana. Pola keteraturan alamiah yang terus
menerus berjalan tanpa perlu menghadirkan kebisingan untuk ‘menyelamatkan’
kirana Surya atau Bulan dari temaram saat gerhana.
Tak jelas behind the scene penangkapan pola ini.
Entah memang berupaya memperhatikan, entah karena malas lalu tiba-tiba
mendapatkan, entah ada sosok yang datang membuka jalan. Yang jelas manusia
mulai menyadari bahwa gerhana terjadi dengan pola teratur yang berulang
sendiri. Kesadaran yang membangkitkan semangat untuk bisa mengerti keteraturan
Semesta Raya.
Pengertian terhadap
pola keteraturan membikin bangsa Babilonia kuno yang menduduki wilayah Mesopotamia sanggup
memperkirakan masa terjadi gerhana lagi. Perkiraan mereka cukup akurat meski
belum disertai pemahaman terhadap penyebab terjadinya gerhana. Mereka
memulainya dengan gerhana Bulan dan perlahan dilanjutkan dengan gerhana Surya.
Dari situlah pemahaman bahwa peristiwa alam memiliki keteraturan mulai
menggelora.
Gelora
mencari tahu pola keteraturan peristiwa alam mulai meraja sesudah gagasan
brilian diberikan oleh seorang laki bernama Thales (Θαλῆς). Sosok misterius
asal Miletus (kini Turki) ini diperkirakan mendiami planet Bumi sepanjang 624-546
sebelum masehi (SM). Thales memberikan gagasan mengenai pola keteraturan ini
yang dimulai dengan mengajakserta masyarakat (kawulo alias praja dan gusti alias pejabat) di lingkungannya,
Ionia.
Secara
khusus, Thales mendapat apresiasi menawan atas keberhasilannya memperkirakan
dengan jitu terjadinya gerhana Surya pada tahun 585 SM. Tak ada peninggalan
karya tulis dari Thales yang bisa ditemukan, namun semua sepakat bahwa dialah
sosok keren pencetus gagasan baru dalam melakukan ijtihad [اجتهاد].
Gagasan
Thales membuka gerbang petualangan panjang tanpa henti yang dilakoni manusia
hingga kini. Petualangan atas dasar keyakinan bahwa Semesta Raya memiliki
keteraturan yang dapat dimengerti. Kejadian yang tampak sulit dan komplit dapat
disederhanakan melalui penjelasan rapi dan rinci.
Thales
memulai gelora ini melalui kampung halamannya yang disebut Ionia [Ἰωνία].
Thales menjadikan Ionia sebagai batu loncatan mengagumkan. Pada masanya, Ionia
yang masuk wilayah Yunani merupakan pusat ilmuwan yang kirananya meluas hingga
Turki dan Italia.
Unjuk rasa
masyarakat Ionia dikagumi melalui perhatian kuat dalam menggali aturan-aturan
dasar yang bisa menjelaskan fenomena alam. Aturan dasar tersebut disusun dengan
cara yang bisa dinalar sehingga tak menutup diri untuk bisa dimengerti oleh liyan. Unjuk rasa mereka tak sebatas
bisa dicoba melalui pengamatan, namun bisa juga melalui pemikiran.
Unjuk rasa
dari Anaximandros (Ἀναξίμανδρος) misalnya. Sahabat Thales yang mendiami Bumi
sepanjang 610-546 SM ini mengungkapkan pandangannya bahwa manusia adalah
keturunan yang tumbuh lebih bagus dari spesies sebelumnya. Pandangan ini
dikuatkan dengan pernyataan bahwa karena bayi manusia tak berdaya saat lahir.
Menurut Anaximandros,
jika manusia pertama muncul sebagai bayi seorang diri, maka tak akan bertahan dalam
keseharian alih-alih tumbuh tua dan berkembang dewasa. Warisan Anaximandros mangkrak lama hingga bisa dihidupkan
lagi pada abad 19 oleh Charles Robert Darwin melalui unjuk rasa yang dikenal
dengan teori evolusi.
Dalam banyak
perkara, unju rasa masyarakat Ionia bahkan bisa memberikan kesimpulan yang tak
jauh berbeda dengan kesimpulan yang didapat saat ini. Salah satu pesona yang
belum sirna hingga kini dari Ionia adalah gagasan yang dikenal dengan teorema
Pythagoras. Teorema ini menyebutkan bahwa kuadrat sisi terpanjang dari segitiga
siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dua sisi yang lain yang dapat ditulis
menggunakan persamaan 32 + 42 = 52.
Sosok
bernama Pythagoras (Πυθαγόρας) sendiri diceritakan mendiami Bumi selama kurun
masa 570-495 SM. Walau teorema tersebut disematkan pada Pythatoras, tak ada
yang berani memberikan kepastian kalau dialah yang memberi gagasan abadi ini.
Gagasan ini terbukti tepat dan tetap sejak semula di-jlentreh-kan hingga saat ini.
Tersiar pula
kabar bahwa Pythagoras menemukan hubungan antara senar yang dipakai dalam alat
musik dan kombinasi harmonik suara yang dihasilkan. Penemuan Pythagoras
menyatakan bahwa jumlah getaran setiap satu satuan waktu (frekuensi) dari senar
yang bergetar dalam tegangan tetap berbanding terbalik dengan panjangnya.
Supaya lebih mudah, pernyataan menggunakan paduan kata disertai dengan angka.
Penemuan
kedua pun abadi. Kini kita bisa melihat penerapan penemuan Pythagoras pada
perbedaan bass dan gitar. Senar bass lebih panjang ketimbang senar gitar.
Semula penemuan kedua Pythagoras dinamakan formula matematika namun seiring
berjalannya waktu penemuan itu dinamai fisika teori.
Tak hanya
menarik bagi masyarakat setempat, unjuk rasa ala Ionia juga sanggup menarik
perhatian hingga Sicìlia. Empedocles (Ἐμπεδοκλῆς), yang mendiami wilayah
Sicìlia (kini Italia) sepanjang kurun masa 490-430 SM, iseng mengamati wadah
air yang disebut clepsydra. Alat ini berbentuk bola dengan leher terbuka dan
lubang-lubang kecil di bagian bawahnya.
Empedocles
penasaran dengan cara kerja alat tersebut. Kalau clepsydra dicelupkan ke dalam
cairan alat ini akan terisi. Lalu ketika terbukanya itu ditutup, alat ini akan
bisa mengangkat cairan keluar tanpa menumpahkan isinya meski terdapat lubang di
bawahnya.
Keisengan
Empedocles ini melatarbelakangi pandangannya bahwa ada ‘sesuatu’ tak terlihat
mata yang membikin air tak tumpah kalau leher clepsydra ditutup dan akan segera
tumpah kalau dibuka. Kini ‘sesuatu’ itu dikenal dengan sebutan udara.
Tak lama
berselang, penghuni Ionia tak mau kalah memberikan sumbangan gagasan brilian.
Democritus (Δημόκριτος), penghuni bagian utara Ionia sepanjang 460 hingga 370
SM, melakukan keisengan lainnya dengan memotong benda menjadi bagian-bagian
kecil.
Pemotongan
terus menerus hingga dia malas memotongnya lagi. Setelah lelah melanjutkan
keisengan, Democritus mengungkapkan pandangannya bahwa setiap benda tersusun atas
bahan dasar yang tak dapat dipotong lagi. Bahan dasar yang tak dapat dipotong
dalam bahasa kuno Yunani disebut atom
(a = tidak dan tom = dipotong).
Ketika
gagasan berdasarkan keisengan tersebut diungkapkan, diyakini bahwa atom adalah bahan dasar paling kecil. Hanya
saja saat ini pengembangan gagasan menyebutkan bahwa atom pun terdiri dari bahan dasar yang lebih kecil lagi. Setelah
ditemukan proton, neutron, dan elektron sebagai bahan dasar paling kecil, kini sudah dikenal quark dan lepton sebagai bahan dasar ketiganya.
Meski
demikian, gagasan Democritus bahwa terdapat bahan dasar penyusun setiap bahan
ini tetap abadi. Tak masalah kalau bahan dasar itu bukanlah atom seperti dia
yakini. Dia pun saat itu sudah meyakini bahwa peristiwa terkait benda merupakan
hasil benturan bahan dasar pamungkas terkecil itu.
Pandangan
yang dijuluki atomisme ini menyatakan
bahwa semua atom bergerak di sekitar ruang kosong dan tak akan berhenti jika
tak ada gangguan. Belum ada yang bisa memastikan alasan harus ada ruang kosong
itu, namun pandangan ini mengilhami gagasan yang kini disebut sebagai hukum
kelembaman (kemalasan mengubah posisi semula).
Tak lama
berselang, gagasan brilian kembali menjulang. Aristarchus (Ἀρίσταρχος),
penghuni Ionia sepanjang rentang 310–230 SM, memberikan gagasan bahwa Bumi
bukanlah pusat jagad raya. Generasi Aristarchus disebut sebagai generasi emas
terakhir yang terlahir di Ionia.
Gagasan
Aristarchus sendiri disertai hasil pengamatan (data) yang dianalisa melalui
perhitungan. Dia menghitung ukuran bayangan Bumi pada bulan selama terjadi
gerhana Bulan. Gagasan ini menjadi satu-satunya unjuk rasa darinya yang terus
menerus bertahan dengan kesimpulan tak terbantahkan.
Dari
perhitungannya, Aristarchus menyimpulkan bahwa Surya pasti jauh lebih besar
dari Bumi. Karena saat itu berlaku pandangan bahwa benda kecil akan cenderung
mengelilingi benda besar (tak bisa kosok bali). Kesimpulannya disusuli bahwa
Bumi bukanlah pusat dari jagad raya. Dengan ungkapan lain, Bumi adalah salah
satu benda yang mengelilingi Surya.
Aristarchus
pun meyakini bahwa bintang-bintang yang berkilau saat temaram malam seperti
Surya, namun letakanya sangat jauh dari Bumi. Pandangan ini memang sempat mangkrak namun kini berlanjut lebih
‘sinting’ lagi.
Pengembangan
gagasan Aristarchus berlanjut hingga menyebutkan bahwa Surya pun mengorbit pada
benda yang jauh lebih besar lagi. Misalnya kita mulai mengenal dengan Galaksi.
Neil deGrasse Tyson memandu dengan bagus perkembangan ‘sinting’ ini melalui
acara Space Odyssey, walau wajahnya kurang ganteng.
Hampir dua
abad kemudian, sepanjang rentang 287-212 SM, muncullah sosok sinting bernama
Archimedes (Ἀρχιμήδης). Dia dihormati sebagai fisikawan agung dari zaman yang
disebut zaman kuno. Archimedes berhasil menyumbangkan gagasan abadi berupa tiga
hukum fisika yang dirumuskannya.
Gagasan
pertama Archimedes menjelaskan tentang sedikit forsa (force, biasanya dialihbahasakan menjadi gaya namun jadi rancu
dengan mode/fashion) yang diberikan
pada hulu pengungkit dapat mengangkat beban berat karena perbandingan jarak dan
titik tumpu beban pada pengungkit bisa menggandakan forsa yang diberikan pada
hilirnya.
Gagasan
keduanya menjelaskan mengenai forsa tekan ke atas (gaya apung). Setiap benda
yang dicelupkan ke dalam sebuah cairan akan mengalami forsa tekan ke atas yang
forsanya sama besar dengan berat cairan yang dipindahkan (misalnya tumpah).
Gagasan
kedua ini membikin dia disebut sinting karena saking girangnya dia lupa belum
mengenakan pakaian saat berupaya memamerkan yang ditemukan. Kegirangannya
diserta dengan teriakan eureka, yang
geloranya terus menggema sepanjang masa.
Eureka yang
berarti ‘sudah kudapatkan’ berkembang menjadi istilah. Secara istilah, Eureka didefinisikan sebagai a cry of joy or satisfaction when one finds
or discovers something. Secara serampangan, eureka adalah ungkapan rasa
syukur saat gembira berhasil menemukan sesuatu yang dirasa baru.
Gagasan
ketiganya menegaskan bahwa sudut antara berkas cahaya dan cermin datar sama
dengan sudut antara cermin dan berkas cahaya yang terpantul. Hanya saja gagasan
ini tak disertai acuan pengamatan dan pengukuran.
Pada masa
sekarang, Bangsa Ionia terus dikenang dengan warisan tak lekang sepanjang
zaman. Sayang, pada masa mereka, juga terdapat masyarakat serupa. Masyarakat
yang getol unjuk peran dengan masing-masing budaya yang berbeda bahkan
berlawanan.
Unjuk rasa
masyaratakat Ionia banyak disukai hingga bisa kuat memengaruhi sampai kini
lantaran pandangan mereka terlihat tidak memberi tempat pada gagasan ‘kehendak
bebas’. Dengan demikian tak perlu melibatkan adanya sosok Adialami (Supranatural)
yang saat itu dipahami sebagai Tuhan.
Kehendak
bebas yang tak diberi tempat membuat bangsa Ionia yakin bahwa sesungguhnya
manusia pun tak memiliki kehendak bebas lantaran disusun oleh benda dasar yang
terikat oleh hukum alam. Keyakinan ini sekarang membuka jalan kajian yang
dinamakan biologi kuantum sebagai alternatif mengurangi jumlah pengangguran.
Dua gagasan
dalam unjuk rasa Ionia itulah yang banyak ditolak hingga sempat mangkrak. Gagasan tak melibatkan peran
Tuhan ditentang keras oleh Epicrus (Ἐπίκουρος) (341-270 SM). Epicrus menolak
dengan keras pandangan atomisme dengan alasan bahwa lebih elok mengikuti mitos
para dewa ketimbang menjadi ‘budak’ takdir para ilmuwan alam. Aristotélēs
(Aριστοτέλης) (384-322 SM) pun menolak pandangan atomisme. Aristoteles tak
dapat menerima bahwa manusia disusun atas benda-benda kecil tak berjiwa.
Sayang
memang derap tegap saat itu sempat mangkrak tak mengalami pengembangan. Sempat
ada masa sesudahnya ketika unjuk rasa masyarakat Ionia tak dikembangkan dan
manusia sudah cukup puas sekedar mendaur ulang bahkan Ionia pun sempat
terlupakan.
Salah
satunya ialah unjuk rasa mereka mengenai Semesta Raya yang menyebutkan bahwa
Bumi bukanlah pusat jagad raya sempat mangkrak
sangat lama. Sekitar dua milenium kemudian unjuk rasa ini dihidupkan oleh
Galileo Galilei. Serupa dengan nasib unjuk rasa Ionia yang ditolak, laki
kelahiran Pisa, Toscana, 15 Februari 1564 pun harus mengalami keseharian yang
dirisak.
Walau begitu,
unjuk rasa Galileo Magnifico kembali menggelora
dan menjadi ranah kajian sendiri. Stephen William Hawking, yang lahir tepat
tiga abad sesudah Galileo pindah alam, adalah salah satu pemeran penting dalam
hal ini, meski kisah cinta penggemar berat Marilyn Monroe ini melukai hati.
Unjuk rasa yang
diberikan oleh bangsa Ionia mencerminkan pandangan yang sudah berlaku sejak
saat itu. Mereka memulai pandangan mengenai mengapa peristiwa alam seperti itu, bukan mengenai bagaimana peristiwa alam seperti itu.
Sayang, gagasan brilian tak disertai pedoman untuk mengatur cara pengujian
gagasan.
Cara
pengujian baru beberapa abad lampau disusun dan dikenal dengan metode ilmiah.
Gagasan yang tak hanya melalui pemikiran walakin hingga disertai perhitungan
pun mudah di-mangkrak-kan ketika
terjadi perbedaan maupun pertentangan.
Mereka juga
belum memberikan batasan jelas antara hukum alam dan hukum sosial. Batasan yang
memberi pembedaan cakupan ini baru mulai diberikan oleh Stoicism, pe-santri-an ilmuwan yang dibangun oleh
Zeno (Ζήνων) sekitar awal abad ketiga SM. Hanya saja mereka memasukkan aturan
tata krama manusia, misalnya menghormati orangtua, ke dalam hukum alam.
Pilihan tersebut
diambil lantaran mereka memandang bahwa
tata krama berlaku universal. Sebaliknya,
serentetan peristiwa fisika dimasukkan dalam wilayah hukum sosial lantaran
mereka memandang proses tersebut butuh pemaksaan walau mereka sebenarnya sadar
bahwa obyek hukumnya tak berjiwa.
Cukup
menggelitik memang. Bayangkan saja, kalau kita susah meminta manusia membuang
sampah pada tempatnya, bayangkan kita meminta Surya memancarkan kirana seperti
kita saksikan dalam keseharian!
Kebiasaan
mengagumkan namun tak berkelanjutan memang patut disayangkan. Hanya saja bangsa
Ionia berhasil menahbiskan diri sebagai pemula gelora kajian keilmuan. Memiliki
catatan sebagai pemula tak akan bisa dipecahkan oleh siapapun.
Muhammad
Jamaluddin (600-673 H) yang lebih dikenal sebagai Ibn Malik mengungkapkan dengan
kentara. Dalam pengantar kumpulan 1002 bait berjudul Alfiyyah dia menyebut bahwa unjuk rasanya lebih bagus ketimbang kumpulan
bait dengan judul serupa gubahan Ibn Mu’thy.
Pernyataan
sejenis demikian memang menunjukkan sikap arogan, menyatakan sesuatu dengan
semestinya. Pasalnya secara teknis Ibn Malik memang tak salah. Pola bait (bahr) yang dipakai dalam gubahannya
sama semuanya, tak seperti gubahan Ibn Mu’thy yang menggunakan dua pola secara
selang-seling. Oleh karena itu lebih enak dilantunkan.
Selain dari
pola penuturan, pembahasan yang diulas pun lebih luas dan dalam melalui
penyampaian ringkas. Tanpa pengertian luas dan dalam, sulit untuk bisa
menghasilkan unjuk rasa genius
seperti ini. Hanya saja, Ibn Malik tetap mengapresiasi gubahan Ibn Mu’thy
dengan menyebutnya lebih utama lantaran digubah dan diterbitkan lebih awal.
Keadaan
ruang dan waktu pelingkup bangsa Ionia saat itu menampakkan kebiasaan melakukan
pengkajian disertai semangat melakukan pengajian. Pengkajian dan pengajian
adalah dua perkara berbeda yang layak dipadukan.
Sebagian
orang cenderung menggilai pengajian sembari menganggap pengkajian adalah
pekerjaan sia-sia yang bisa mengikis iman. Kosok bali dengan sebagian lainnya
yang rajin melakukan pengkajian sembari menyebut pengajian hanyalah pekerjaan
sia-sia yang tak akan memberikan kemajuan. Sebagian lainnya lebih memilih
menonton Park Bom menggelinjang riang di atas pentas.
Pengkajian
dan pengajian memang berbeda. Hanya saja keduanya bisa saling berpadu tanpa
perlu beradu. Pengkajian yang berasal dari kata dasar ‘kaji’ dilakukan untuk
meneliti beragam perkara maupun peristiwa secara ilmiah untuk memperbaiki
keseharian bersama. Sementara pengajian yang berasal dari kata dasar aji dilakukan
untuk memperbaiki martabat (jika dikaitkan interaksi dengan semesta kecil) atau
derajat (jika dikaitkan interaksi dengan Semesta Raya).
Manusia
memiliki sisi sebagai makhluk individu (insan
dan basyar), yang martabat dan
derajatnya perlu untuk terus ditingkatkan. Martabat dan derajat yang tinggi
akan memberi kemudahan dalam mewujudkan misi sosial yang dimiliki. Selain itu,
manusia juga memiliki sisi sebagai makhluk sosial (naas), yang berkewajiban ikut serta dalam segala upaya untuk
memperbaiki keseharian bersama. Bangsa Ionia adalah contoh bagus yang telah
memulainya.